January Ramadhan

Alat Yang Membantu Kita Lebih Kritis

Alat Yang Membantu Kita Lebih Kritis

Socrates, salah satu bapak pendiri pemikiran filsafat Barat, Banyak orang Athena percaya bahwa dia adalah musuh negara yang berbahaya, menuduh filsuf itu merusak kaum muda dan menolak untuk mengakui dewa-dewa mereka. Namun, Socrates tidak ditakuti karena mengklaim memiliki semua jawaban, tetapi karena mengajukan terlalu banyak pertanyaan.

Saat merenungkan sosok Socrates, saya sering bertanya-tanya, apa yang membuatnya begitu berpengaruh? Apakah karena kebijaksanaannya, atau keberaniannya untuk menantang status quo? Saya percaya bahwa kekuatan Socrates terletak pada kemampuannya untuk bertanya. Dia tidak memberikan kuliah atau mendikte, tetapi dia terlibat dalam dialog yang mendalam, menuntun orang lain untuk menemukan kebenaran mereka sendiri.

Meskipun dia membenci kuliah formal, sang filsuf sering kali melibatkan teman dan orang asing dalam percakapan panjang tentang moralitas dan masyarakat. Diskusi-diskusi ini bukanlah debat, Socrates juga tidak akan memberikan nasihat yang eksplisit. Faktanya, sang filsuf sering kali mengklaim bahwa dia tidak tahu apa-apa, hanya menanggapi jawaban rekannya dengan pertanyaan lebih lanjut. Namun, melalui proses inilah saya menyadari kekuatan sebenarnya dari metode Socrates. Dengan bertanya, dia menyelidiki logika lawan bicaranya, mengungkap kekurangan dan membantu mereka mencapai pemahaman yang lebih mendalam.

Pertanyaan-pertanyaan yang mendalam ini membuat Socrates dicintai oleh para pengikutnya. Dua muridnya, Plato dan Xenophon, begitu terinspirasi sehingga mereka mereplikasi proses mentor mereka dalam dialog-dialog fiksi. Ketika saya membaca dialog-dialog ini, saya seolah-olah dibawa ke dalam percakapan itu sendiri, merasakan ketegangan, kebingungan, dan akhirnya, pencerahan. Pertukaran yang diciptakan ini memberikan contoh yang sempurna tentang apa yang kemudian dikenal sebagai Metode Socrates.

Metode Socrates

Metode Socrates, bagi saya, adalah sebuah bentuk seni. Seni bertanya, bukan untuk mendapatkan jawaban, tetapi untuk membuka jalan menuju pemahaman. Ini adalah bentuk penyelidikan dan diskusi kooperatif yang argumentatif antar individu, berdasarkan pada mengajukan dan menjawab pertanyaan untuk merangsang pemikiran kritis dan untuk menarik ide-ide serta asumsi-asumsi yang mendasarinya. Metode ini dinamai menurut nama filsuf Yunani Klasik, Socrates, dan diperkenalkan olehnya dalam dialog-dialog Plato.

Dalam salah satu dialog fiksi ini, Socrates sedang bercakap-cakap dengan seorang pemuda bernama Euthydemus, yang yakin bahwa dia memahami sifat keadilan dan ketidakadilan. Socrates menyelidiki nilai-nilai siswa dengan memintanya untuk memberi label tindakan seperti berbohong dan mencuri sebagai adil atau tidak adil. Euthydemus dengan percaya diri mengkategorikan tindakan-tindakan tersebut sebagai ketidakadilan, tetapi ini hanya memicu pertanyaan lain: apakah adil bagi seorang jenderal untuk menipu atau menjarah tentara musuh?

Melalui contoh ini, saya mulai memahami esensi dari metode Socrates. Ini bukan tentang benar atau salah, tetapi tentang mempertanyakan keyakinan kita, menggali lebih dalam untuk menemukan dasar dari pemikiran kita. Euthydemus merevisi pernyataannya. Dia mengklaim bahwa tindakan-tindakan ini adil jika dilakukan terhadap musuh, dan tidak adil jika dilakukan terhadap teman. Tetapi Socrates belum selesai. Dia meminta pemuda itu untuk mempertimbangkan seorang komandan yang berbohong kepada pasukannya untuk meningkatkan moral mereka. Tak lama kemudian, Euthydemus menjadi putus asa. Tampaknya setiap jawaban mengarah pada masalah lebih lanjut, dan mungkin dia tidak begitu yakin apa yang sebenarnya merupakan keadilan.

Dalam menggunakan pendekatan yang berorientasi pada pertanyaan ini, Socrates menggambarkan dirinya sebagai seorang bidan, yang pertanyaannya membantu orang lain dalam melahirkan ide-ide mereka. Ini adalah gambaran yang indah, dan saya merasa sangat relevan. Bukankah kita semua, dalam perjalanan hidup kita, sedang mencari kebenaran dan makna? Metode pertanyaannya menarik asumsi-asumsi yang belum teruji dari seseorang, dan kemudian menantang bias-bias tersebut. Metode ini tidak selalu memberikan jawaban yang pasti, tetapi membantu memperjelas pertanyaan dan menghilangkan logika yang kontradiktif atau berputar-putar. Dan dengan mengikuti alur penyelidikan ke mana ia secara logis mengarah, baik si penanya maupun si penjawab dapat berakhir di tempat yang tidak terduga. Inilah keindahan dari proses ini, sebuah perjalanan penemuan diri yang tak terduga.

Jejak Socrates: Penerapan Metode Bertanya dalam Sejarah

Metode Socrates, bagi saya, lebih dari sekadar teknik bertanya. Ini adalah sebuah filosofi, sebuah cara hidup. Dan yang menakjubkan adalah, metode ini tidak terbatas oleh isi percakapan, menjadikannya sangat berguna di berbagai bidang. Selama Renaisans, metode ini digunakan untuk mengajarkan kedokteran klinis. Para siswa mengajukan alasan mereka untuk berbagai diagnosis, sementara seorang dokter mempertanyakan asumsi mereka dan memoderasi diskusi. Dalam model ini, metode tersebut bahkan dapat menghasilkan hasil yang konklusif. Saya membayangkan betapa berbedanya dunia medis saat itu, di mana diagnosis bukan hanya kesimpulan, tetapi sebuah proses dialog dan penemuan. Pendekatan yang sama kemudian digunakan dalam ilmu-ilmu lain, seperti astronomi, botani, dan matematika.

Setelah Reformasi Protestan, metode ini diadaptasi untuk mengatasi pertanyaan-pertanyaan abstrak tentang iman. Ini menunjukkan fleksibilitas dan kedalaman metode Socrates, yang dapat diterapkan pada pertanyaan-pertanyaan eksistensial dan spiritual. Pada abad ke-19, metode ini menjadi bagian penting dari pendidikan hukum Amerika. Para profesor menggali pemahaman siswa tentang penalaran yudisial dengan menantang mereka dengan situasi hipotetis yang tidak terduga. Pendekatan ini masih digunakan hingga saat ini oleh Mahkamah Agung untuk membayangkan dampak yang tidak diinginkan dari pengesahan suatu undang-undang. Saya merenungkan, betapa pentingnya metode ini dalam membentuk pemikiran hukum dan keadilan di dunia kita.

Refleksi: Warisan Socrates dan Relevansinya di Masa Kini

Metode Socrates dapat diadaptasi untuk mengajarkan hampir semua topik yang mengandalkan penalaran kritis, tetapi keberhasilannya sangat bergantung pada guru yang menggunakannya. Seorang pendidik Socrates yang efektif harus menguasai subjek mereka. Alih-alih menggertak siswa mereka atau memamerkan kecerdasan superior mereka, mereka harus rendah hati, benar-benar ingin tahu, dan mengapresiasi setiap kontribusi. Di sinilah saya melihat paradoks dalam diri Socrates.

Dalam hal ini, Socrates sendiri mungkin bukan guru Socrates yang paling halus. Sejarawan percaya bahwa dia sangat kritis terhadap bentuk demokrasi Athena tertentu, dan diketahui mewariskan kekhawatiran itu kepada para pengikutnya. Keyakinan subversif ini didistorsi di forum publik dan dianggap telah menginspirasi dua muridnya untuk melakukan tindakan pengkhianatan. Kemungkinan besar karena ide-ide inilah Socrates diadili, dan akhirnya, dijatuhi hukuman mati. Namun, bahkan di ranjang kematiannya, para seniman menggambarkan seorang filsuf yang tenang — yang selalu ingin tahu untuk mengeksplorasi pertanyaan pamungkas.

Merenungkan akhir tragis Socrates membuat saya bertanya-tanya, apakah dunia siap untuk pemikir seperti dia? Apakah kita, sebagai masyarakat, siap untuk ditantang, untuk mempertanyakan keyakinan kita yang paling dalam? Apakah dia terlalu maju di jamannya?

Namun, terlepas dari akhir hidupnya, warisan Socrates tetap hidup. Metode bertanyanya terus menginspirasi para pendidik, filsuf, dan pemikir di seluruh dunia. Bagi saya, Socrates bukan hanya seorang filsuf, tetapi juga seorang pengingat. Pengingat bahwa kebijaksanaan sejati bukanlah tentang mengetahui semua jawaban, tetapi tentang berani mengajukan pertanyaan yang tepat. Dalam dunia yang sering kali terobsesi dengan jawaban yang cepat dan mudah, metode Socrates menawarkan kita jalan yang berbeda. Jalan yang menantang kita untuk berpikir lebih dalam, untuk mempertanyakan asumsi kita, dan untuk menemukan kebenaran kita sendiri. Dan mungkin, itulah warisan terbesar Socrates, sebuah undangan abadi untuk terus bertanya, terus belajar, dan terus tumbuh.

Tags:
#filsafat
#critical thinking