January Ramadhan

Kurikulum Merdeka: Membebaskan atau Menindas?

Kurikulum Merdeka: Membebaskan atau Menindas?

Pendidikan merupakan kekuatan fundamental yang membentuk individu dan masyarakat, melampaui sekadar transmisi pengetahuan. Ini adalah medan di mana struktur kekuasaan yang ada dapat dipertahankan atau ditransformasi.1 Pemilihan desain dan implementasi pendidikan bukanlah tindakan netral; sebaliknya, setiap keputusan pedagogis dan kurikuler secara inheren bersifat politis, dengan konsekuensi yang mendalam terhadap dinamika kekuasaan dalam masyarakat. Freire secara tegas menyatakan bahwa pendidikan, dalam esensinya, selalu memiliki dimensi politik, yang bertujuan untuk memberdayakan individu agar dapat menantang status quo dan mengubah realitas mereka.2 Ini berarti bahwa analisis kurikulum atau praktik pengajaran di Indonesia tidak dapat dilihat hanya sebagai pilihan teknis atau pedagogis, tetapi sebagai tindakan yang secara inheren politis yang berfungsi untuk mempertahankan atau menantang struktur kekuasaan yang ada. Pandangan ini menetapkan lensa analitis untuk seluruh artikel, bergerak melampaui diskusi dangkal tentang metode pengajaran ke interogasi yang lebih dalam tentang dampak sosialnya, membingkai dikotomi "pembebasan versus penindasan" bukan sebagai debat teoretis, tetapi sebagai konsekuensi praktis dari kebijakan dan praktik pendidikan.

artikel ini berpusat pada karya seminal pendidik dan filsuf Brasil Paulo Freire, "Pedagogy of the Oppressed" (pertama kali diterbitkan pada tahun 1968, dengan terjemahan bahasa Inggris pada tahun 1970).2 Buku ini merupakan teks fundamental dalam bidang pendidikan dan pedagogi kritis, dan secara luas dianggap sebagai salah satu buku terpenting tentang pendidikan di abad ke-20.3 Didedikasikan untuk kaum tertindas dan berdasarkan pengalaman Freire sendiri dalam membantu orang dewasa Brasil membaca dan menulis, karya ini mencakup analisis kelas Marxis yang mendalam tentang hubungan antara penjajah dan yang dijajah.4

Tujuan artikel ini adalah untuk mengupas argumen inti Freire bahwa pendidikan dapat menjadi instrumen untuk pembebasan atau dominasi dan pelemahan, tergantung pada bagaimana pendidikan dirancang dan diterapkan.1 Analisis teoretis ini kemudian akan diterapkan langsung pada konteks pendidikan Indonesia, dengan memeriksa kurikulum dan praktik pendidikan yang ada untuk memahami sejauh mana mereka mendukung pembebasan atau tanpa disadari melanggengkan penindasan.

II. Paradigma Pendidikan Paulo Freire: Penindasan vs. Pembebasan

Paulo Freire, dalam "Pedagogy of the Oppressed," menyajikan dua model pendidikan yang kontras: "pendidikan gaya bank" (banking concept of education) dan "pendidikan hadap masalah" (problem-posing education). Dikotomi ini menjadi inti argumennya tentang bagaimana pendidikan dapat berfungsi sebagai alat penindasan atau pembebasan.

Konsep "Pendidikan Gaya Bank" (Banking Concept of Education)

Freire mengkritik model pendidikan tradisional yang ia sebut sebagai "model bank," di mana pengetahuan diperlakukan sebagai simpanan yang dilakukan oleh guru (yang ia identifikasi sebagai penindas) ke dalam pikiran siswa (yang ia anggap sebagai tertindas).1 Dalam model ini, siswa dipandang sebagai penerima pasif, wadah kosong, atau "kontainer" yang harus diisi dengan informasi.1 Guru adalah otoritas mutlak, diasumsikan tahu segalanya, sementara siswa diasumsikan tidak tahu apa-apa.7 Pendekatan ini bersifat "naratif," di mana guru menceritakan fakta dan siswa hanya mendengarkan dan menghafalnya tanpa koneksi yang berarti dengan kehidupan nyata mereka.4

Implikasi dari pendekatan ini sangat merugikan. Pendidikan gaya bank menghambat pemikiran kritis, kreativitas, dan memperkuat ketidakseimbangan kekuasaan yang ada.2 Ini melatih siswa untuk menjadi anggota masyarakat yang tunduk, menyangkal peran mereka dalam membentuk dunia.7 Siswa menjadi tidak mampu mempertanyakan dunia atau mengenali penindas, karena mereka dikondisikan untuk secara pasif menerima apa yang disajikan sebagai kebenaran.4 Pengetahuan, dalam model ini, menjadi "tidak bernyawa dan statis," sebuah "hadiah" yang diberikan oleh guru kepada "siswa yang tidak bersuara, sabar, dan bodoh".2 Akibatnya, pendidikan gaya bank mengarah pada "domestikasi" dan melanggengkan ketidaksetaraan serta ketidakadilan sosial.2 Ini adalah proses yang mendehumanisasi, tidak hanya bagi siswa tetapi juga bagi guru.1 Model bank ini bukan hanya tentang pembelajaran yang tidak efisien; ini adalah tentang sosialisasi ke dalam peran subordinat. Freire secara eksplisit menghubungkan model bank dengan "mencerminkan masyarakat yang menindas secara keseluruhan"6 dan digunakan oleh kelas penguasa untuk mempertahankan kekuasaan.3 Dehumanisasi di dalam kelas1 mencerminkan dehumanisasi dalam masyarakat.4 Ini menunjukkan bahwa model bank bukan hanya metode pedagogis yang cacat, tetapi sebuah teknologi sosial yang disengaja atau setidaknya berfungsi menindas, yang dirancang untuk menghasilkan warga negara yang patuh yang tidak menantang struktur kekuasaan yang ada. Ini adalah mekanisme untuk menginternalisasi "budaya diam."

Konsep "Pendidikan Hadap Masalah" (Problem-Posing Education)

Sebaliknya, Freire menganjurkan pendekatan "membebaskan" atau "dialogis," yang ia sebut "pendidikan hadap masalah".2 Model ini secara fundamental menghilangkan dikotomi guru-siswa, melibatkan penyelidikan kritis kolektif di mana semua peserta adalah "guru-siswa dan siswa-guru".7 Ini mendorong diskusi terbuka dan komunikasi kolaboratif antara semua pihak yang terlibat dalam proses belajar.4 Tujuan utamanya adalah untuk mengungkap realitas, mendemistifikasinya, dan memungkinkan siswa melihat dunia bukan sebagai entitas yang statis, melainkan sebagai proses yang terus-menerus dalam transformasi.6

Pendidikan hadap masalah menjadikan siswa pemikir kritis, merangsang refleksi dan tindakan nyata terhadap realitas, dan menanggapi "panggilan mereka sebagai pribadi yang otentik hanya ketika terlibat dalam penyelidikan dan transformasi kreatif".7 Pendekatan ini secara inheren berkaitan dengan pembebasan, bukan penindasan.6 Ini sangat penting untuk membantu kaum tertindas mendapatkan kembali kemanusiaan mereka yang hilang dan mencapai humanisasi penuh.4

Pilar-pilar Pendidikan Pembebasan Freire

Pendidikan pembebasan Freire didasarkan pada beberapa pilar yang saling terkait dan saling menguatkan:

  • Dialog: Dialog sangat diperlukan untuk kognisi dan pengungkapan realitas.7 Ini adalah proses pembelajaran timbal balik di mana suara setiap orang dihargai, membutuhkan rasa hormat, kepercayaan, dan kemauan untuk menantang asumsi sendiri.8 Freire menekankan bahwa dialog adalah tindakan cinta, kerendahan hati, dan iman.4 Dialog adalah fondasi pendidikan yang membebaskan dan tindakan itu sendiri, mendorong refleksi kritis atas pengalaman hidup.8 Ini memastikan bahwa peserta benar-benar melihat dan mengenali kemanusiaan satu sama lain.8
  • Praksis (Aksi-Refleksi): Praksis adalah siklus berkelanjutan dari tindakan dan refleksi.9 Tidak cukup hanya mendiskusikan masalah; orang harus secara aktif bekerja sama untuk mengubah situasi mereka, merefleksikan secara kritis realitas mereka untuk mendapatkan pengetahuan lebih lanjut, dan mengubah realitas tersebut melalui tindakan dan refleksi berkelanjutan.9 Pembebasan adalah praksis: tindakan dan refleksi pria dan wanita atas dunia mereka untuk mengubahnya.6
  • Kesadaran Kritis (Conscientization): Conscientization adalah proses di mana individu, terutama kaum tertindas, menjadi sadar akan kondisi sosial dan politik mereka.1 Ini melibatkan pengembangan pemahaman yang mendalam tentang akar penyebab penindasan, mengenali ketidakadilan sosial, dan mempertanyakan status quo.1 Ini melampaui keterampilan teknis; ini adalah landasan untuk mengakhiri "budaya diam" di mana penindasan dipertahankan karena tidak disebutkan.1 Freire mengidentifikasi tiga tingkat kesadaran: magis, naif, dan kritis, dengan peran pendidik adalah untuk mendorong pergerakan menuju kesadaran kritis.1 Ini adalah komitmen berkelanjutan untuk bertindak, bukan hanya proses intelektual, dan bersifat kolektif, bukan individual.9
  • Dimensi Politik Pendidikan: Freire menegaskan bahwa pendidikan tidak pernah netral; ia adalah instrumen untuk membebaskan orang atau untuk mendominasi dan melumpuhkan mereka.1 Guru tidak boleh menyembunyikan posisi politik mereka tetapi tidak boleh memaksa peserta didik untuk menerimanya.2 Tugas pendidikan dalam demokrasi adalah membantu orang menyadari potensi penuh mereka, menantang status quo, dan mengubah masyarakat.2
  • Cinta/Empati: Freire menekankan pentingnya cinta dan empati dalam mengajar, bukan sebagai perasaan sentimental, tetapi sebagai aspek fundamental dari humanisasi dan tindakan keberanian.3 Guru harus benar-benar peduli terhadap kesejahteraan siswa dan bekerja menuju pemberdayaan mereka.3 Cinta yang mendalam memusatkan pembebasan siswa, memotivasi guru untuk menantang status quo dan menyingkirkan gagasan superioritas ahli.8 Cinta juga diperlukan dari siswa untuk harga diri dan keterlibatan yang setara.8

Pilar-pilar ini tidak berdiri sendiri; sebaliknya, terdapat hubungan kausal dan timbal balik yang kuat di antara mereka. Dialog adalah fondasi pendidikan hadap masalah.2 Dialog membutuhkan cinta, kerendahan hati, dan kepercayaan.8 Dialog dan refleksi kritis mengarah pada kesadaran kritis.1 Kesadaran kritis bukan hanya intelektual tetapi menuntut tindakan, mengarah pada praksis.9 Praksis, pada gilirannya, adalah sarana transformasi dan pembebasan.6 Tanpa cinta, guru tidak memiliki keberanian untuk menantang status quo8, dan siswa menyangkal perspektif mereka sendiri.8 Ini membentuk siklus yang saling memperkuat: Cinta memungkinkan dialog, dialog mendorong kesadaran kritis, kesadaran kritis memicu praksis, dan praksis mengarah pada pembebasan, yang kemudian memperdalam cinta dan lebih lanjut memberdayakan dialog. Interaksi kompleks ini mengimplikasikan bahwa setiap upaya untuk menerapkan pedagogi Freirean tidak dapat memilih elemen secara terpisah. Sistem pendidikan yang benar-benar membebaskan harus menumbuhkan semua elemen ini secara bersamaan, mengakui hubungan sinergis mereka. Misalnya, hanya memiliki "diskusi" tanpa cinta, kerendahan hati, dan komitmen terhadap tindakan yang tulus akan jauh dari dialog dan pembebasan Freirean yang sebenarnya, menyiratkan transformasi holistik ekosistem pendidikan, bukan hanya perubahan metode pengajaran.

Berikut adalah perbandingan ringkas antara kedua konsep pendidikan Freire:

Tabel 1: Perbandingan Konsep Pendidikan Freire: "Gaya Bank" vs. "Hadap Masalah"

AspekPendidikan Gaya BankPendidikan Hadap Masalah
Karakteristik UtamaNaratif, pengetahuan sebagai simpanan, siswa pasif/wadah, guru otoriter, fokus hafalan, terputus dari realitas, dehumanisasi.Dialogis, penyelidikan kritis kolektif, siswa-guru/guru-siswa, partisipasi aktif, pengungkapan realitas, fokus pemikiran kritis, humanisasi.
Peran GuruPemberi pengetahuan, otoritas mutlak, pengontrol.Fasilitator, co-investigator, mitra dalam belajar, penuh cinta kasih.
Peran SiswaPenerima pasif, objek, "botol kosong," tidak diizinkan bertanya.Partisipan aktif, subjek, co-creator pengetahuan, penanya kritis, agen transformasi.
DampakMenghambat pemikiran kritis/kreativitas, domestikasi, melanggengkan ketidakadilan, dehumanisasi, budaya diam.Mengembangkan kesadaran kritis (conscientization), humanisasi, pembebasan, transformasi sosial.

III. Analisis Kurikulum Pendidikan di Indonesia dalam Lensa Freire

Kurikulum nasional Indonesia berfungsi sebagai peta strategis pendidikan, dirancang untuk mencapai tujuan nasional seperti mencetak generasi yang cerdas, produktif, dan berkarakter.11 Kurikulum ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan siswa dan masyarakat, memastikan relevansi antara pendidikan dan tantangan global.11 Secara umum, kurikulum pendidikan di Indonesia memiliki peran vital dalam melestarikan nilai budaya lokal, mendorong kreativitas dan inovasi (misalnya, melalui pembelajaran berbasis proyek yang fleksibel seperti Kurikulum Merdeka Belajar), menyesuaikan dengan perubahan zaman (termasuk kemajuan teknologi dan perubahan sosial), berfungsi sebagai alat evaluasi efektivitas sistem pendidikan, membangun sinergi antar pemangku kepentingan, dan memfasilitasi pendidikan inklusif yang menjangkau semua lapisan masyarakat.11

Secara spesifik, Kurikulum 2013 melibatkan langkah-langkah bagi guru dalam menyampaikan materi pelajaran.12 Sementara itu, Kurikulum Merdeka Belajar menekankan pendekatan yang berpusat pada siswa12, menggunakan strategi seperti eksposisi-penemuan dan pembelajaran kelompok-individu.12 Kurikulum ini mendorong penggunaan beragam metode pengajaran di luar ceramah, seperti diskusi, curah pendapat, dan debat.12 Ini juga menggabungkan komponen Pembelajaran Kontekstual (CTL) seperti konstruktivisme, inkuiri, bertanya, komunitas belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian otentik.12 Tujuan dari mendorong kegiatan bertanya adalah untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa.12

Kritik Freire terhadap Kurikulum

Freire mengkritik sistem pendidikan di mana kurikulum seringkali menciptakan "standar ganda" dalam praktik di berbagai sekolah.13 Meskipun kurikulum mungkin tampak baik secara teoritis, dalam praktiknya, penerapannya seringkali bervariasi secara signifikan antar institusi, sehingga mengurangi esensi pendidikan sebagai alat pembebasan. Freire berpendapat bahwa sistem pendidikan cenderung lebih berfokus pada pemenuhan standar formal daripada pada pengembangan potensi manusia secara utuh.13

Lebih lanjut, Freire berpendapat bahwa pendidikan, terutama dalam kerangka kapitalis, sering digunakan sebagai alat untuk melanggengkan ketidaksetaraan sosial, mengendalikan dan membatasi individu dalam sistem hierarkis.13 Lembaga pendidikan sering mengabaikan latar belakang keuangan siswa, membuat pendidikan berkualitas eksklusif bagi mereka yang mampu membayarnya, sehingga meminggirkan kelompok lain.13

Kurikulum Merdeka Belajar: Upaya Menuju Pendidikan yang Membebaskan?

Penekanan Kurikulum Merdeka Belajar pada pembelajaran yang berpusat pada siswa, inkuiri, bertanya, refleksi, dan penilaian otentik12 menunjukkan keselarasan yang jelas dengan pendidikan hadap masalah Freire. Pergeseran peran guru dari panutan menjadi fasilitator12 selaras dengan seruan Freire agar guru melepaskan kontrol otoriter dan menjadi bagian dari proses belajar bersama siswa.2 Dorongan untuk diskusi, curah pendapat, dan debat12 secara langsung mencerminkan penekanan Freire pada dialog sebagai proses pembelajaran timbal balik.8 Tujuan kurikulum untuk menumbuhkan pemikiran kritis dan kreativitas11 selaras dengan tujuan Freire untuk mengembangkan kesadaran kritis dan memberdayakan siswa untuk mengubah realitas mereka.3 Fokus pada pemecahan masalah dan adaptasi terhadap perubahan11 juga mendukung aspek praksis dalam karya Freire.

Meskipun ada niat positif ini, analisis menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara tujuan yang dinyatakan dalam kurikulum dan implementasi praktisnya. Kurikulum Indonesia, menurut beberapa analisis, masih cenderung berfokus pada transfer pengetahuan pasif, dengan ruang yang tidak memadai bagi siswa untuk terlibat dalam pemikiran kritis, diskusi, dan partisipasi aktif dalam proses pembelajaran.11 Penekanan pada hasil akademik dan nilai ujian mungkin mengabaikan kesadaran sosial yang lebih luas dan tanggung jawab komunitas, menjauhkan pendidikan dari konsep pembebasan Freire.13 Pengaruh eksternal seperti kapitalisasi dan politisasi dapat menurunkan kualitas pendidikan.13

Hal ini menunjukkan sebuah paradoks: kurikulum progresif yang dirancang untuk pembebasan, seperti Kurikulum Merdeka Belajar, sering diimplementasikan dalam sistem yang masih memiliki kecenderungan "gaya bank" yang mengakar kuat dan tekanan eksternal (kapitalisasi, politisasi, fokus pada nilai ujian). Desain kurikulum mungkin berjiwa Freirean, tetapi kondisi implementasinya—termasuk pelatihan guru, distribusi sumber daya, ekspektasi masyarakat, dan metode penilaian—dapat mengembalikannya ke model "bank" yang menindas. "Standar ganda" yang dikritik Freire13 mungkin terwujud sebagai kesenjangan antara niat teoretis kurikulum dan penerapannya yang bervariasi, seringkali diencerkan. Ini mengimplikasikan bahwa reformasi kurikulum saja tidak cukup; perubahan sistemik dan budaya juga diperlukan. Tidak cukup hanya mengubah dokumen kurikulum; seluruh ekosistem—termasuk pelatihan guru, paradigma penilaian, alokasi sumber daya, dan nilai-nilai masyarakat—harus selaras untuk benar-benar menumbuhkan pendidikan yang membebaskan. Tanpa mengatasi masalah sistemik yang lebih dalam ini, bahkan reformasi yang bermaksud baik berisiko di kooptasi atau diencerkan oleh struktur penindasan yang ada.

Berikut adalah tabel yang mengilustrasikan relevansi prinsip Freire dengan komponen Kurikulum Merdeka Belajar:

Tabel 2: Relevansi Prinsip Freire dengan Komponen Kurikulum Merdeka Belajar

Prinsip FreireKomponen Kurikulum Merdeka BelajarRelevansi/Keterkaitan
Pendidikan Hadap MasalahPendekatan berpusat pada siswa, Inkuiri (Menemukan), Bertanya, Konstruktivisme.Komponen-komponen ini secara langsung mendorong siswa untuk aktif membangun pengetahuan, menyelidiki masalah, dan mengajukan pertanyaan, yang merupakan inti dari pendidikan hadap masalah Freire.
DialogDiskusi/Curah Pendapat/Debat, Komunitas Belajar, Bertanya.Metode ini memfasilitasi komunikasi dua arah, pertukaran ide, dan pembelajaran timbal balik, yang merupakan esensi dari dialog Freirean.
Peran Guru (Fasilitator)Pemodelan (Guru sebagai Fasilitator).Menggeser peran guru dari pemberi pengetahuan otoriter menjadi fasilitator yang melibatkan siswa dalam proses belajar, selaras dengan visi Freire tentang guru sebagai co-investigator.
Praksis (Aksi-Refleksi)Refleksi, Konstruktivisme, Penilaian Otentik.Refleksi memungkinkan siswa menganalisis pengalaman belajar mereka, sementara konstruktivisme dan penilaian otentik mendorong penerapan pengetahuan pada realitas dan tindakan, mencerminkan siklus praksis.
Kesadaran Kritis (Conscientization)Bertanya, Inkuiri (Menemukan), Refleksi, Penilaian Otentik.Mendorong siswa untuk mempertanyakan, menyelidiki, dan merefleksikan realitas mereka sendiri, serta mengevaluasi pemahaman mereka secara mendalam, yang merupakan langkah-langkah menuju pengembangan kesadaran kritis.

IV. Kondisi Pendidikan di Indonesia: Tantangan dan Peluang Pembebasan

Praktik Pengajaran Saat Ini

Implementasi pendidikan saat ini di Indonesia masih menunjukkan tanda-tanda penindasan, memposisikan siswa sebagai objek daripada subjek dalam proses belajar.10 Ini termasuk pengurangan ruang diskusi dan pemikiran kritis, dengan diskusi seringkali hanya memenuhi persyaratan kurikulum formal.10 Siswa cenderung menjadi penerima pasif, yang mengarah pada dehumanisasi, di mana guru adalah aktor utama dan siswa digambarkan "seperti robot".10 Model "bank" lazim, memperlakukan siswa sebagai wadah kosong yang harus diisi.10

Praktik pendidikan juga cenderung berfokus pada pengembangan otak kiri, yang mengarah pada pemikiran yang kaku, terstruktur, dan formalistik, dengan kebijakan yang kurang kreativitas dan inovasi.10 Ada penekanan pada pemenuhan standar formal daripada pengembangan potensi manusia secara holistik.13 Selain itu, terdapat potensi penindasan melalui "massifikasi" pendidikan oleh mereka yang berkuasa.10 Pendidikan berkualitas seringkali eksklusif bagi mereka yang mampu membayarnya, melanggengkan ketidaksetaraan sosial yang disebabkan oleh ketidakmerataan distribusi sumber daya pendidikan.13

Praktik-praktik yang diamati di Indonesia, seperti siswa yang menjadi objek pasif dan ruang diskusi yang berkurang, secara langsung selaras dengan karakteristik "budaya diam" yang didefinisikan oleh Freire. Budaya diam adalah situasi di mana orang-orang tertindas terperangkap oleh kurangnya kekuasaan, dan dicegah untuk mengekspresikan dan bertindak berdasarkan pikiran dan pengalaman mereka karena rasa takut, kurangnya akses ke pendidikan, atau internalisasi keyakinan yang menindas.1 Ini bukan hanya tentang pilihan pedagogis yang buruk; ini adalah fenomena sistemik dan budaya yang secara aktif menekan pemikiran kritis dan agensi. Model bank secara langsung berkontribusi pada hal ini dengan mengkondisikan siswa untuk menerima informasi tanpa pertanyaan, sehingga melanggengkan "ketakutan bawah sadar mereka akan kebebasan".4 Budaya diam dipertahankan ketika penindasan tidak diakui.1 Kurangnya pemikiran kritis dan partisipasi aktif di Indonesia menyiratkan internalisasi yang mendalam dari keheningan ini, sehingga lebih sulit bagi siswa untuk "menamai dunia mereka" dan menantang ketidakadilan. Mengatasi hal ini membutuhkan lebih dari sekadar memperkenalkan metode pengajaran baru. Ini membutuhkan upaya sadar untuk memecahkan pola keheningan dan kepasifan yang mengakar, menumbuhkan lingkungan di mana pertanyaan, ekspresi, dan keterlibatan kritis tidak hanya diizinkan tetapi secara aktif didorong dan dihargai, bahkan jika itu menantang norma atau otoritas yang ada.

Partisipasi Siswa dan Pengembangan Pemikiran Kritis

Meskipun tantangan tersebut ada, terdapat upaya signifikan untuk meningkatkan literasi berpikir kritis dan partisipasi siswa di Indonesia. Terutama di sekolah menengah, integrasi teknologi pendidikan disoroti sebagai sarana untuk mencapai tujuan ini.15 Teknologi dapat membuat pembelajaran lebih menarik, yang mengarah pada keterlibatan siswa yang lebih aktif melalui alat interaktif, simulasi, dan diskusi online.15 Ini juga menyediakan akses yang lebih luas ke berbagai jenis data dan sumber daya, seperti konten pembelajaran tambahan, video, dan artikel ilmiah online.15 Di tingkat pendidikan dasar, pengembangan pemikiran kritis juga ditekankan untuk memenuhi tuntutan kompetensi abad ke-21, termasuk kemampuan analisis, evaluasi, pemecahan masalah, pemikiran kreatif, pemikiran sistematis, dan keterampilan argumentasi.14 Pemecahan masalah diajarkan melalui bermain peran, studi kasus sederhana, atau proyek kolaboratif yang mendorong pemikiran kritis.14

Namun, implementasi upaya ini menghadapi tantangan signifikan. Infrastruktur yang tidak merata, kurangnya dukungan yang memadai untuk guru dan siswa, ketidakpercayaan terhadap efektivitas teknologi, dan sumber daya yang tidak memadai masih menjadi hambatan.15 Ada kebutuhan mendesak untuk pelatihan guru yang holistik agar mereka dapat mengintegrasikan teknologi secara efektif.15 Selain itu, siswa dari tradisi budaya dan bahasa yang berbeda mungkin menghadapi kesulitan dalam melakukan tugas-tugas berpikir kritis.14

Peran teknologi dalam pendidikan memiliki sifat ganda: potensi pembebas versus alat untuk peningkatan "gaya bank." Meskipun teknologi dapat memfasilitasi alat interaktif, simulasi, dan diskusi online15, yang selaras dengan dialog dan pendidikan hadap masalah, sifat integrasi teknologi sangat penting. Teknologi juga dapat digunakan untuk meningkatkan model bank. Misalnya, MOOCs (Massive Open Online Courses) disebut sebagai latihan dalam "pendidikan gaya bank murni" karena transfer pengetahuan satu arah dan jarak fisik antara pengajar dan peserta.7 Jika teknologi hanya digunakan untuk menyampaikan lebih banyak informasi dengan lebih cepat, atau untuk memantau kepatuhan siswa, ia berisiko menjadi alat lain untuk kontrol dan penerimaan pasif, daripada pembebasan. Tantangan yang disebutkan—kurangnya pelatihan guru, ketidakpercayaan terhadap teknologi, dan kurangnya sumber daya—menunjukkan bahwa tanpa desain pedagogis yang cermat dan dukungan yang memadai, teknologi mungkin tidak memenuhi potensi pembebasannya dan bahkan dapat memperburuk ketidaksetaraan yang ada atau memperkuat praktik bank dengan mendigitalkannya. Dampak teknologi sepenuhnya tergantung pada filosofi pedagogis dan dinamika kekuasaan yang mendasari penggunaannya. Untuk pendidikan Indonesia, ini adalah seruan untuk memastikan bahwa integrasi teknologi dipandu oleh prinsip-prinsip Freirean, memprioritaskan dialog, keterlibatan kritis, dan agensi siswa, daripada hanya efisiensi penyampaian informasi.

Relevansi Pemikiran Freire dalam Konteks Indonesia

Pendidikan humanis dan dialogis Freire diusulkan sebagai solusi yang kuat untuk mengatasi penindasan pendidikan di Indonesia.10 Pendekatan ini bertujuan untuk menggeser paradigma dari siswa sebagai objek pasif menjadi subjek aktif dalam proses belajar.10 Komponen kunci dari solusi Freirean ini meliputi menumbuhkan kesadaran kritis melalui dialog10, mempromosikan partisipasi aktif, menjadikan guru sebagai fasilitator, mengatasi "ketakutan akan kebebasan," dan menciptakan ruang kelas yang interaktif dan menarik.10 Pendidikan humanis menekankan penghormatan terhadap martabat manusia, keadilan sosial, dan pembelajaran berbasis realitas, bertujuan untuk membebaskan manusia dari belenggu penindasan dan mengembalikan kemanusiaan mereka yang sejati.10

Layanan bimbingan dan konseling juga dapat memainkan peran penting dalam mendukung pendidikan humanis dan dialogis. Dalam layanan ini, siswa diperlakukan sebagai subjek, dibantu dalam mengembangkan potensi mereka, dan didorong untuk terlibat dalam dialog interaktif dengan konselor.10 Konselor bertindak sebagai informator, organisator, motivator, direktur, inisiator, transmitter, fasilitator, mediator, dan evaluator.10 Pada akhirnya, pendidikan harus dipahami sebagai upaya demokratis yang melibatkan semua pemangku kepentingan—siswa, orang tua, guru, dan pemerintah—untuk membangun kehidupan yang lebih baik bagi semua.10

Berikut adalah tabel yang merangkum indikasi penindasan dan potensi pembebasan dalam kondisi pendidikan Indonesia:

Tabel 3: Indikasi Penindasan dan Potensi Pembebasan dalam Kondisi Pendidikan Indonesia

Indikasi Penindasan (Kondisi Saat Ini)Potensi Pembebasan (Melalui Pendekatan Freirean)
Siswa sebagai objek/pasif ("seperti robot"), tanpa ruang untuk pemikiran kritis.Siswa sebagai subjek aktif dan agen perubahan, dengan ruang untuk berpikir kritis dan berekspresi.
Pengurangan ruang diskusi dan pemikiran kritis, fokus pada pemenuhan kurikulum.Peningkatan partisipasi siswa dan literasi berpikir kritis melalui dialog otentik.
Fokus pada pengembangan otak kiri, pemikiran formalistik, dan nilai ujian.Pengembangan lingkungan belajar yang dialogis, humanis, dan mendorong kreativitas.
Ketidakmerataan akses pendidikan (kapitalisme, standar ganda), mengabaikan latar belakang sosial-ekonomi.Pendidikan berbasis realitas dan keadilan sosial, memastikan akses yang setara untuk semua.
Dehumanisasi pendidikan, guru sebagai aktor utama dan siswa sebagai penerima pasif.Peran guru sebagai fasilitator, co-investigator, dan pendidik yang penuh cinta kasih.
Budaya diam yang mengakar, di mana penindasan tidak diakui dan agensi ditekan.Pemecahan budaya diam melalui dialog yang berani dan penamaan realitas oleh siswa.
Pemanfaatan teknologi yang berpotensi memperkuat model bank atau tidak optimal.Pemanfaatan teknologi secara dialogis untuk mendukung konstruksi pengetahuan aktif dan kolaborasi.

V. Rekomendasi dan Implikasi

Untuk mewujudkan pendidikan yang benar-benar membebaskan di Indonesia, diperlukan pendekatan yang komprehensif dan sistemik, yang melampaui reformasi kurikulum semata. Rekomendasi berikut menguraikan strategi untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip Freirean ke dalam kurikulum, praktik pengajaran, dan kebijakan pendidikan.

Strategi untuk Mengintegrasikan Prinsip Freire dalam Kurikulum dan Praktik Pengajaran

  • Pengembangan Kurikulum yang Berpusat pada Masalah: Dokumen kurikulum yang ada perlu ditinjau ulang untuk memastikan penekanan eksplisit pada pendidikan hadap masalah, penyelidikan kritis, dan metode dialogis. Ini berarti bergerak melampaui retorika "berpusat pada siswa" menuju agensi siswa yang tulus, di mana siswa secara aktif mengidentifikasi dan menganalisis masalah dunia nyata, bukan hanya menerima informasi.13
  • Pergeseran Pedagogis yang Mendalam: Promosikan metode pengajaran yang memprioritaskan diskusi, debat, proyek kolaboratif, dan pemecahan masalah dunia nyata daripada ceramah dan hafalan.12 Dorong "investigasi tematik" yang berakar pada realitas siswa, memungkinkan mereka untuk secara kritis menamai dan memahami dunia mereka.4
  • Reformasi Penilaian yang Otentik: Bergeser dari penilaian yang hanya berfokus pada standar formal dan nilai ujian ke penilaian otentik yang mengevaluasi pemikiran kritis, kreativitas, dan kemampuan siswa untuk menerapkan pengetahuan pada masalah dunia nyata. Penilaian harus mencerminkan proses konstruksi pengetahuan dan refleksi, bukan hanya reproduksi fakta.12

Peningkatan Peran Guru sebagai Fasilitator, Co-investigator, dan Pendidik yang Penuh Cinta Kasih

  • Pelatihan Guru yang Komprehensif dan Holistik: Implementasikan program pelatihan guru yang tidak hanya berfokus pada metode pengajaran baru tetapi juga pada dasar filosofis pedagogi Freirean. Ini harus mencakup penanaman cinta, kerendahan hati, dan kepercayaan sebagai fondasi interaksi pedagogis.8 Latih guru untuk menjadi "guru-siswa" dan "siswa-guru," mempromosikan pembelajaran timbal balik dan menghilangkan hierarki tradisional.7
  • Pemberdayaan Guru: Kurangi beban administratif yang membebani guru untuk memberikan mereka lebih banyak waktu dan energi untuk keterlibatan dialogis yang bermakna dengan siswa dan untuk mengatasi masalah akademik yang kompleks.10
  • Pemodelan Peran untuk Kesadaran Kritis: Dorong guru untuk mencontohkan kesadaran kritis dan partisipasi aktif dalam kehidupan mereka sendiri, menunjukkan bahwa pembelajaran adalah proses penyelidikan dan transformasi yang berkelanjutan, baik di dalam maupun di luar kelas.2

Penguatan Lingkungan Belajar yang Dialogis, Partisipatif, dan Berbasis Realitas

  • Menciptakan Ruang Aman untuk Dialog: Tumbuhkan lingkungan kelas dan sekolah di mana siswa merasa aman untuk bertanya, menantang asumsi, dan mengungkapkan perspektif mereka tanpa rasa takut. Ini secara aktif akan memecahkan "budaya diam" yang menghambat ekspresi dan agensi siswa.1
  • Keterlibatan Komunitas dan Relevansi Kontekstual: Hubungkan pengalaman belajar dengan realitas hidup siswa dan masalah komunitas, menjadikan pendidikan relevan dan memberdayakan untuk transformasi sosial.6 Manfaatkan "tema generatif" yang muncul dari kehidupan siswa sebagai titik awal untuk penyelidikan kurikuler, memastikan bahwa pembelajaran berakar pada pengalaman otentik mereka.1
  • Integrasi Teknologi dengan Tujuan Pembebasan: Manfaatkan teknologi pendidikan untuk memfasilitasi dialog, kolaborasi, dan penyelidikan kritis yang tulus, memastikan bahwa teknologi tidak hanya meningkatkan transfer informasi tetapi mendukung konstruksi pengetahuan aktif dan pemecahan masalah. Ini memerlukan mengatasi kesenjangan infrastruktur dan dukungan yang ada untuk memastikan akses dan penggunaan yang adil.15

Kebijakan Pendidikan yang Berpihak pada Pembebasan, Kemanusiaan, dan Keadilan Sosial

  • Mengatasi Ketidaksetaraan Sistemik: Terapkan kebijakan untuk mengatasi "standar ganda" dan hambatan keuangan yang membatasi akses ke pendidikan berkualitas, memastikan distribusi sumber daya pendidikan yang adil dan merata di seluruh wilayah dan lapisan masyarakat.13
  • Desentralisasi dan Relevansi Lokal: Promosikan pengembangan kurikulum dan pendekatan pedagogis yang memungkinkan adaptasi lokal dan relevansi, memberdayakan komunitas untuk membentuk kebutuhan pendidikan mereka sendiri dan memastikan bahwa pendidikan mencerminkan konteks budaya dan sosial yang unik.8
  • Kemauan Politik untuk Transformasi: Kenali dan rangkul dimensi politik pendidikan, memastikan bahwa kebijakan pendidikan secara eksplisit dirancang untuk memberdayakan kaum marjinal dan menantang ketidakadilan sistemik, daripada melanggengkan mereka.1 Ini membutuhkan "tindakan demokratis" yang melibatkan semua pemangku kepentingan—siswa, orang tua, guru, dan pemerintah—dalam proses pengambilan keputusan.10

Efektivitas setiap rekomendasi tunggal bergantung pada keselarasan yang lain. Misalnya, kurikulum progresif tidak akan mengarah pada pembebasan jika guru tidak dilatih dalam metode dialogis atau jika penilaian masih memprioritaskan hafalan. Demikian pula, pemberdayaan guru tidak akan sepenuhnya berhasil jika ketidaksetaraan sistemik dalam distribusi sumber daya terus berlanjut. Hal ini menyoroti bahwa implementasi pedagogi Freire bukanlah tugas sepotong-sepotong tetapi membutuhkan transformasi holistik dan sistemik. Ini tentang mengubah seluruh ekosistem pendidikan, termasuk filosofi yang mendasarinya, struktur kekuasaan, dan alokasi sumber daya, untuk memastikan koherensi dalam niat pembebasannya. Keselarasan sistemik ini menggarisbawahi kesulitan dan kompleksitas dalam mencapai pembebasan pendidikan yang sejati. Ini menuntut upaya terkoordinasi di semua tingkatan sistem pendidikan, dari pembuatan kebijakan hingga praktik kelas, dan komitmen berkelanjutan untuk menantang norma-norma dan dinamika kekuasaan yang mengakar kuat. Tanpa penyelarasan sistemik ini, upaya individu, tidak peduli seberapa baik niatnya, dapat dirusak atau gagal mencapai potensi transformatif penuhnya.

VI. Kesimpulan

Pendidikan, sebagaimana yang diartikulasikan secara mendalam oleh Paulo Freire, tidak pernah netral; ia berfungsi sebagai instrumen yang kuat untuk pembebasan atau alat yang halus untuk penindasan. "Konsep bank" melanggengkan kepasifan dan dehumanisasi, menekan pemikiran kritis dan kreativitas, serta memperkuat ketidaksetaraan sosial. Sebaliknya, "pendidikan hadap masalah," yang berakar pada dialog, praksis, dan kesadaran kritis, memberdayakan individu untuk secara kritis terlibat dan mengubah realitas mereka, mengarah pada humanisasi dan transformasi sosial. Pilar-pilar Freire ini—dialog, praksis, kesadaran kritis, dimensi politik pendidikan, dan cinta—saling terkait erat, membentuk siklus sinergis yang sangat penting untuk pembebasan sejati.

Analisis konteks pendidikan Indonesia menunjukkan adanya niat progresif dalam Kurikulum Merdeka Belajar, yang menyelaraskan dengan banyak prinsip Freirean, seperti pendekatan yang berpusat pada siswa, inkuiri, dan dialog. Namun, tantangan yang terus-menerus dari praktik "gaya bank," pendekatan formalistik, dan ketidaksetaraan sistemik masih menghambat pembebasan sejati. Manifestasi "budaya diam" dalam praktik pengajaran, di mana siswa pasif dan ruang diskusi terbatas, menunjukkan bahwa penindasan tidak hanya bersifat struktural tetapi juga termanifestasi secara budaya. Selain itu, sementara teknologi menawarkan potensi besar untuk meningkatkan pemikiran kritis dan partisipasi, dampaknya sepenuhnya tergantung pada filosofi pedagogis yang mendasarinya; tanpa panduan Freirean, teknologi dapat memperkuat praktik penindasan.

Meskipun ada tantangan ini, potensi pendidikan untuk menjadi kekuatan yang benar-benar membebaskan di Indonesia ada. Ini membutuhkan komitmen yang sadar dan berkelanjutan untuk menumbuhkan budaya penyelidikan kritis, dialog otentik, dan cinta yang mendalam di semua bidang pendidikan. Ini menuntut reformasi kurikulum yang berani, pergeseran pedagogis yang mendalam, peningkatan peran guru sebagai fasilitator yang penuh cinta kasih, penguatan lingkungan belajar yang partisipatif dan berbasis realitas, serta kebijakan pendidikan yang secara tegas berpihak pada pembebasan, kemanusiaan, dan keadilan sosial. Dengan merangkul visi Freire secara holistik dan sistemik, Indonesia dapat bergerak menuju sistem pendidikan yang tidak hanya memberikan pengetahuan tetapi juga menumbuhkan warga negara yang berdaya, sadar kritis, dan mampu membentuk masyarakat yang lebih adil dan setara.

Works Cited

  1. Paulo Freire - History of Social Work, details, accessed May 30, 2025, https://historyofsocialwork.org/eng/details.php?cps=23&canon_id=157
  2. Paulo Freire | EBSCO Research Starters, accessed May 30, 2025, https://www.ebsco.com/research-starters/history/paulo-freire
  3. Book Summary: Pedagogy of the Oppressed – PRAXIS, accessed May 30, 2025, https://praxisucc.ie/3299/
  4. Pedagogy of the Oppressed - Wikipedia, accessed May 30, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Pedagogy_of_the_Oppressed
  5. Paulo Freire in Chile, 1964–1969: Pedagogy of the oppressed in its sociopolitical economic context - Social Movements, Education Research, and Practice, accessed May 30, 2025, https://csmerp.psu.edu/materials-and-resources/1833/
  6. Model Text by Student Author: “Education Methods: Banking vs. Problem Posing”, accessed May 30, 2025, https://ua.pressbooks.pub/bourneempoword/chapter/model-text-by-student-author-education-methods-banking-vs-problem-posing/
  7. “Banking” vs. Problem-Posing Education | Inventing the Discipline - WordPress.com, accessed May 30, 2025, https://inventingthediscipline.wordpress.com/2013/06/11/banking-vs-problem-posing-education/
  8. Profound Love and Dialogue: Paulo Freire and Liberation Education ..., accessed May 30, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11230641/
  9. Concepts Used by Paulo Freire | Freire Institute, accessed May 30, 2025, https://freire.org/concepts-used-by-paulo-freire
  10. jurnal.umsb.ac.id, accessed May 30, 2025, https://jurnal.umsb.ac.id/index.php/ummatanwasathan/article/download/6094/4097
  11. 7 Manfaat dan Peran Kurikulum dalam Pendidikan - Yayasan ..., accessed May 30, 2025, https://www.ybkb.or.id/7-manfaat-dan-peran-kurikulum-dalam-pendidikan/
  12. Mengenal Pengertian dan Komponen Kurikulum Pendidikan ..., accessed May 30, 2025, https://www.quipper.com/id/blog/info-guru/komponen-kurikulum/
  13. (PDF) Kritik Terhadap Standar Ganda Sistem Pendidikan: Analisis ..., accessed May 30, 2025, https://www.researchgate.net/publication/387317750_Kritik_Terhadap_Standar_Ganda_Sistem_Pendidikan_Analisis_Pemikiran_Paulo_Freire_Terhadap_Praktik_Penerapan_Sistem_Pendidikan_di_Indonesia
  14. journal.universitaspahlawan.ac.id, accessed May 30, 2025, https://journal.universitaspahlawan.ac.id/index.php/jrpp/article/download/30193/20401/99819
  15. jipp.unram.ac.id, accessed May 30, 2025, https://jipp.unram.ac.id/index.php/jipp/article/download/2629/1374/13078
Tags:
#Kurikulum Merdeka
#Pendidikan
#Paulo Freire
#Pembebasan
#Penindasan